Buku : Berbisnis Dengan Allah
Pengarang : M. Quraish Shihab
Syarat Berbisnis Dengan Allah
A. Allah swt. Percaya pada Manusia
Allah swt. “percaya’ yakni mengakui dan menganggap bahwa manusia mampu melakukan transaksi dan menjalin bisnis dengan-Nya. Seandainya Allah tidak percaya, niscaya amanat yang ditawarkan-Nya tidak akan diserahkan kepada manusia. Kepercayaan ini karena Dia telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya untuk bermuamalah dengan-Nya dan menjadi khalifah didunia yakni memakmurkannya sesuai pesan-Nya. Malaikat yang agaknya ingin memperoleh “kepercayaan’ tersebut tidak diberi-Nya.
Sekali lagi “kepercayaan Allah” itu bukannya tanpa dasar. Allah swt. Menganugerahi manusia akal yang menjadikannya mampu memilih dan memilah serta berinisiatif. Allah juga menganugerahinya potensi berpengetahuan, serta memberinya (melalui ibu bapaknya/Adam dan istrinya) pengalaman manis berupa surga dan pengalaman manis dan berpengalaman pahit berupa godaan setan dan dampaknya serta memberinya pula petunjuk melalui nabi-nabi yang diutus-Nya. Karena itu, sekali lagi, Yang Maha Mengetahui itu “percaya” bahwa siapa pun yang memanfaatkan dengan baik anugerah-anugerah tersebut, pastilah dia cakap bertransaksi dengan-Nya. Karena itulah Allah tidak bertransaksi bisnis dengan mereka yang tidak/belum cakap seperti anak kecil, tidak juga menerima transaksi orang gila. atau yang dipaksa.
B. Manusia Dituntut untuk Percaya kepada-Nya
Manusia dituntut untuk percaya kepada Allah swt. Kepercayaan dimaksud adalah bahwa: Dia Mahaesa dalam zat, sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya tidak terima seabik apa pun “kualitas dan kemasan bahan yang ditawarkan/dijualnya”.
Selain itu manusia harus percaya terhadap apa yang disampaikan-Nya. Ini mencakup kepercayaan kepada malaikat, yang antara lain bertugas menyampaikan wahyu kepada nabi dan rasul. Nabi dan rasul ini bertugas menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada masyararakatnya, dan tentu saja percaya pula pada apa yang disampaikan itu baik berupa kitab suci maupun pesan-pesan-Nya yang tidak tercantum dalam kitab suci.
Selanjutnya, yang tidak kurang pentingnya adalah percaya pada komitmen dan janji-janji-Nya, antara lain janji bahwa “pembayaran” baru akan ditunaikan secara sempurna di Hari Kemudian yang pasti datang walau belum ditentukan tanggalnya. Syarat ini sangat penting karena bagaimana anda akan melakukan transaksi yang sifat tidak tunai, jika anda tidak percaya dengan janji dan komitmen yang disampaikan mitra anda. Jangan duga bahwa ‘penundaan’ itu tidak memiliki nilai tambah. Pembayaran disana “berlipat ganda’ sampai 700 kali lipat, bahkan dapat berlebih.
Percaya menyangkut hal-hal tersebut melahirkan sangka baik terhadap-Nya. Bukankah dalam interaksi bisnis antara manusia jika satu ketika mitra yang anda percaya belum menepati komitmennya, atau terlambat memenuhi kewajibannya, maka ketika itu anda akan menemukan – pada diri anda – aneka alasan pembenaran sambil menolak semu ini kecurigaan terhadapnya ? ini karena anda percaya bahwa dia tidak akan menipu atau mengingkari janji. Itu karena anda bersangka baik kepadanya. Terhadap Tuhan anda percaya, paling tidak seperti itulah sikap terhadap-Nya, bahkan mestinya lebih dari itu karena kemungkinan berbohong, menipu, lemah ataupun tak mampu, atau terhalangi sesuatu atau berubah pendirian dan tekad, kesemuanya tidak sedikitpun menyentuh Allah. Dia pun, dengan penundaan atau keterlambatan itu, tidak memiliki kepentingan atau meraih keuntungan, dan dengan demikian keterlambatan pasti untuk kemashlahatan anda. Ini tentu saja berbeda dengan manusia, betapapun besar dan penuhnya kepercayaan anda kepadanya. Karena itu semestinya anda lebih mempercayai janji-janji selain-Nya, bahkan lebih memercayai dan lebih mengandalkan apa yang dijanjikan-Nya ketimbang apa yang telah berada dalam genggaman tangan kekuasaan anda sekalipun.
Memang boleh jadi dewasa ini anda belum menyadari atau merasakan keuntungan berbisnis dengan-Nya, bahkan boleh jadi ada yang merasa rugi, tetapi sekali lagi mari kita gunakan logika bisnis sukses dan bertanya: bukankah seorang pebisnis atau satu perusahaan harus berhitung tentang keuntungan jangka panjang ? terkadang , bahkan demi keuntungan itu, perusahaan bersedia mengeluarkan baiya terlbih dahulu, bukan saja mengurangi pemasukan keuntungannya, tetapi juga mengambil dari modal kerjanya? Itu mereka lakukan, walau belum ada kepastian tentang keuntungan masa depan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar